Oleh Ubaidillah Achmad
BAGAIMANA hukum Islam terhadap patung? Sebelum berbicara
tentang hukum Islam terhadap patung, umat Islam perlu memahami hukum Islam yang
bersifat teosentris, yaitu hukum Islam sebagai hukum yang dianggap bersifat
religius, sakral, dan abadi.
Hal ini berbeda dengan kondisi realitas sosial, yang
menuntut perubahan epistemologi, baik secara rekonstruktif dan dekonstruktif.
Bagaimana jika hukum Islam dikaitkan dengan kondisi realitas sosial yang
dipandang sakral? Jika hukum Islam dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan
menunjukkan wajah yang berbeda dengan aslinya. Contoh, perbuatan mencuri yang
seharusnya mendapatkan hukuman "potong tangan", telah diputuskan oleh
Umar melalui ijtihad kemanusiannya. Misalnya, seorang pencuri tidak harus
potong tangan. Contoh kedua, penggunaan media patung yang pernah dilarang Nabi
karena telah dikenal menjadi instrumen kaum fasis dan kapitalis, dalam
perkembangan berikutnya berubah menjadi instrumen dakwah sunan kalijaga.
Kedua contoh ini menunjukkan kesakralan dan keabadian hukum
islam memiliki kontekstualisasi yang berbeda dengan wajah aslinya. Hal ini
sesuai dengan kondisi dan situasi kesejarahan masyarakat.
Jadi, para ahli hukum islam mempunyai landasan wahyu
Al-Quran dan Hadits, namun hal ini bukan berarti mengabaikan kontekstualisasi
pemaknaan, seperti hasil ijtihad para ulama fiqh pada abad pertengahan.
Kontekstualisasi hukum Islam bersifat religius dan memiliki prinsip yang
universal. Karenanya, hukum islam menunjukkan adanya perubahan yang terjadi dan
dihadapi oleh manusia di tengah perubahan sosial. Kontekstualisasi hukum Islam
ini menjadi penting, karena hukum Islam muncul sebagai tanggapan terhadap
kebutuhan-kebutuhan sosial, baik yang bersifat tetap dan yang bersifat berubah.
Istilah hukum Islam sebagai pergantian kosa kata dari istilah hukum Allah
(QS. Al-Mumtahanah (60):10).
Dalam kontekstualisasi hukum Islam (Islamic Law), perlu
memahami dua istilah: syariah dan fiqh. Syariat adalah landasan fiqih sedangkan
fiqih merupakan pemahaman tentang syariat, yaitu Al-Qur’an dan
al-Hadits yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.
Secara harfiyah fiqih bermakna “faham” atau “tahu secara
mendalam”. Secara terminologi pengertian fiqih merupakan pemahaman tentang
hukum syari’at yang berhubungan dengan manusia mukallaf yang diperoleh melalui
ijtihad dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. Hal ini, pernah dicontohkan
Muadz bin Jabal, yang dibenarkan pandangannya oleh Gus Dur. Alasan menjadikan
model Muadz bin Jabal, karena tidak saja hanya karena tidak ditemukannnya teks
kewahyuan, namun juga karena kesulitan menemukan teks terhadap konteks yang
relevan terhadap perkembangan hukum Islam.
Khalifah Ali RA, juga pernah melakukan ijtihad hukum Islam,
misalnya dengan cara ijtihad seperti yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Abi
Thalib dalam menetapkan hukum cambuk, sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar.
Analogi yang digunakan, adalah setiap peminum khamr akan mabuk, setiap orang
yang sedang mabuk akan menuduh orang berbuat zina tanpa dasar, maka bagi peminum
khamr perlu diberi sanksi tuduhan berbuat zina.
Dasar analogis tersebut di atas, karena menggunakan kaidah:
menutup pintu kejahatan yang akan timbul (sad al-dzari’ah). Teori analogis ini
berlangsung hingga masa tabi’in hingga Imam Syafi’i. Selain metode sad al
dzari'ah, telah berkembang metode metode fiqh sejak abad pertengahan, misalnya,
metode mashlahah mursalah, istihsan, urf, istishab.
Sehubungan dengan perkembangan hukum Islam di atas, dapat
dijadikan pijakan: untuk melakukan kontekstualisasi hukum Islam dan menjadikan
semangat nilai kewahyuan dan karasulan sebagai dasar untuk menentukan hukum
Islam. Sebagai contoh pada kasus memaknai keberadaan patung. Patung dapat
dipahami dari sisi keindahan, namun juga dapat dipahami dari sisi sosial politik
dan agama. Lalu, bagaimana pandangan hukum Islam terhadap patung?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu memahami latar
belakang pelarangan Nabi terhadap umat Islam yang membuat patung dan perintah
Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk menghancurkan patung. Alasan yang sangat
mendasar, karena patung telah dijadikan berhala yang mendorong sikap kekerasan
umat manusia untuk melakukan kekerasan dan kekejaman terhadap perempuan. Patung
hanya dijadikan kedok fasisme politik dan keserakahan kapitalis Arab pada zaman
Nabi. Pada masa pelarangan dan penghancuran ini, telah terjadi tradisi arab
jahiliyah yang melakukan ritual mempersembahkan para anak peremouan untuk
patung.
Sehubungan dengan tradisi jahiliyah ini, maka Nabi melakukan
upaya membebaskan umat dan mencerahkan umat dari trauma fasisme politik dan
keserakahan kapitalis.
Sehubungan adanya studi kasus tentang patung ini, maka dapat
dihukumi menjadi tiga pendekatan hukum Islam: patung yang dihancurkan, berupa
patung yang dijadikan berhala yang menjadikan seseorang menjadi jahiliyah.
Jahiliyah, bermakna ketidaktahuan dan tidak mau tahu tentang keutamaan dan
kebaikan hidup yang berimplikasi pada sikap perbuatan yang keji dan tidak
manusiawi.
Hal yang ironis, keberadaan patung justru digunakan untuk
memperbodoh manusia dan menguatkan kebodohan dengan terus melakukan penyembahan
kepada patung. Spesifikasi hukum tentang membuat patung seperti ini, adalah
haram. Sedangkan, menyembahnya menjadi syirik. Dampak dari hukum Islam seperti
ini, maka semua yang mendukung pembuatan patung untuk keperluan yang seperti
ini menjadi turut merasakan dosanya.
Adapun upaya membuat patung yang tidak disembah, maka boleh
dilakukan para ahli pematung. Hal ini sesuai dengan kaidah: Hukum asal segala
sesuatu itu diperbolehkan (Al-ashlu fî al-asyyâ` al-ibâhah). Hukum asal membuat
patung diperbolehkan (ibâhah), namun hukum ini bisa berubah menjadi dilarang
dengan status haram bagi manusia yang melakukannya.
Dalam konteks pembelajaran, membuat patung dapat menjadi
wajib. Sesuai dengan klasifikasi hukum ini, dalam melakukan ijtihad membuat
hukum terhadap pembuat patung, akan tergantung pada tujuan dan manfaat
penggunaannya. Misalnya, patung untuk pembelajaran dunia kedokteran, yang
apabila menggunakan praktik bedah terhadap makhluk hidup yang masih bernyawa
haram, maka menggunakan media yang dibuat para pematung menjadi wajib.
Hal di atas bertujuan untuk menghindari kerusakan terhadap
yang lain. Contoh lain membuat patung untuk prakten shalat janazah menjadi
wajib, karena jika tidak membuat patung dikhawatirkan akan ada kesalahan
praktek ibadah yang menjadi wajib. Membuat patung yang berguna untuk situs
sejarah, juga diperbolehkan atau bahkan dianjurkan, dengan bertujuan untuk
mengambil pembelajaran sejarah yang dapat digunakan untuk membaca keagungan
Allah terhadap fenomena dan peristiwa kealaman.
Patung yang diperbolehkan dibuat dan dijadikan instrumen
untuk pendidikan, adalah patung boneka, Artinya, kebolehan pemanfaatan fungsi
patung untuk keperluan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dapat
dianalogkan dengan hukum diperbolehkannya boneka untuk instrumen pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Kebolehan pemanfaatan patung boneka ini, telah
disepakati mayoritas Ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Hal ini
didasarkan pada kisah Sayyidah Aisyah yang masyhur dikalangan muhaddisin, yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Berbeda dengan ketiga Ulama tersebut di atas, sebagian ulama
madzhab Hanbali mengharamkan boneka untuk instrumen bermain anak. Alasannya,
hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah, telah dinaskh (dihapus hukumnya) oleh hadits
yang melarang membuat patung. Jika dikaji dari kemunculan hadis, justru
hadits ‘Aisyah RA, disampaikan oleh Nabi Muhammad ketika akhir kenabian.
Sedangkan, larangan membuat dan perintah menghancurkan patung tidak jelas kapan
telah disampaikan oleh Nabi Muhammad. Selain berupa bonika, ada beberapa patung
yang berstatus boleh menjadi instrumen bermain dan peningkatan data imajinasi
otak anak, seperti patung pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang
yang lain.
Jadi, patung tidak hanya yang dipahat, yang terbuat dari
batu, besi, tembaga, dan kayu, namun boneka yang dimainkan oleh anak juga
dikategorikan sebagai patung. Dalam hukum Islam, patung diharamkan bagi mereka
yang ingin menjadikannya sebagai media pembodohan, media "kedok"
kehendak para fasis dan kapitalis. patung dibuat dari bahan bebatuan pegunungan
yang berkualitas yang merusak ekologis.
Sedangkan, patung diperbolehkan pembuatannya untuk simbol
yang menandai sejarah manusia, riset ilmu pengetahuan, dan instrumen
pengembangan ilmu pengetahuan. Patung menjadi wajib dibuat, karena untuk
kepentingan pembelajaran dunia kedokteran. Bidang kedokteran merupakan bidang
yang wajib ada di tengah lingkungan masyarakat, karena jika mereka yang sakit
ada di tangan para dukun mistis yang memainkan kesedihan masyarakat, justru
akan lebih membahayakan bagi masyarakat. Penanganan media patung pentig bagi
masa depan kemanusiaan dan diperlukan umat manusia.
Penanganan medis patung sebagai bentuk penanganan logis
usaha manusia menerjemahkan rahasia Allah melalui ciptaannya. Karenanya, media
patung sebagai media pembelajaran dunia kedokteran menjadi wajib tersedia.
Bukankah lebih membahayakan, bagi mereka yang menjadikan media pembelajaran di
dunia kedokteran dengan menggunakan makhluk hidup yang wajib mendapatkan hak
kemanusuaannya.
Sebenarnya, bagi umat Islam yang berkeinginan mengikuti
tafsir hitam putih tentang pelarangan menggambar dalam pelarangan membuat
patung, mereka punya hak untuk tidak menggambar dan membuat patung. Yang perlu
dipahami bukan berarti harus bersikap merusak gambar atau patung yang dibuat
seseorang yang tidak mengganggu lingkungan hidup. Hal ini, berbeda dengan pada
zaman nabi yang pernah melarang membuat-memasang gambar atau patung, karena
telah menjadi intrumen fasisme dan keserakahan kapitalis.
Dalam konteks yang berbeda dari era pelarangan patung pada
zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad, telah berlangsung proses pribumisasi
Islam di nusantara yang dikenalkan para Walisongo dan Sunan Kalijaga yang juga
menggunakan media patung, seperti: patung wayang kulit. Hasilnya, adanya proses
keberagamaan Islam Nusantara yang ramah terhadap kearifan lokal dan lingkungan
sosial. Model pribumisasi Islam Walisongo ini, adalah model keberagamaan yang
ramah yang hingga sekarang telah menjadikan Islam nusantara yang melindungi dan
mengayomi semua keyakinan dan keragaman hidup. Sehubungan dengan keberadaan
patung yang terus mengisi sejarah manusia ini, perlu kajian mendalam mengapa
ada yang membuat patung dan mengapa ada yang melarangnya? (Selesai)
Ubaidillah Achmad, Dosen Filsafat Islam UIN
Walisongo, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim PP. Bait
As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.
0 Response to "Patung Menurut Hukum Islam (Bagian Kedua)"
Post a Comment